Teori Auguste Comte Pdf

Posted By admin On 20.09.19
  1. Auguste Comte Theory
  2. Teori Auguste Comte

Auguste Comte Success comes in many different forms and from many different types of people. Still, it may surprise you to hear that one of the most influential people of the 19th century was a college dropout with a history of mental illness.

How did that happen? Auguste Comte was a French philosopher born in Montpellier, France, in 1798, just after the French Revolution.

Teori Sosiologi Klasik Auguste Comte PDFKATA PENGANTAR - web. Pada saat yang sama, ia membaca karya- karya Auguste. Comte dan Herbert Spencer. Sosiolog, dan ahli teori politik klasik terkemuka liberal dari era Victoria. Auguste Comte dan yang mengatur dia di jalan menuju pekerjaan hidupnya. Auguste Comte was a French philosopher who founded sociology, or the scientific study of society. He believed in positivism, which is the idea that only scientific.

Comte's parents had supported the royal family during the revolution, but as Comte came of age, he began to see the value of the revolution and the ideals that had led to it. Specifically, he became very interested in the way that society molded itself and the laws that it followed.

Through his philosophical exploration of society, Comte would change the way the world viewed society, philosophy, and even science. Let's look closer at two important contributions that Comte made to the world: sociology and positivism. Sociology In college at the University of Montpellier, Comte became infatuated with the ideals of the French Revolution. That is, he became really interested in the way that members of society rose up to rid themselves of the monarchy and to form a republic where everyone had the opportunity to become powerful. Comte dropped out of college and began studying on his own. He looked for patterns in the way that society behaved, including trying to figure out how society works.

In 1826, when he was approaching the age of 30, Comte decided to present his social theory to the world in a series of lectures. However, he only got to deliver about a third of the lectures before he was hospitalized with a mental illness.

For the next 15 years, Comte was in and out of hospitals for psychiatric problems. But this didn't stop him from writing an influential series of books, collectively known as the Course in Positive Philosophy, where he said that society, like nature, operates under its own set of laws and should be studied the same way we study nature: with science. Comte believed that the physical sciences, like physics and mathematics, should be complemented with a new type of science: the social sciences, which would study society using the same scientific principles. Putting his love of science together with his fascination with society, he coined the term sociology to describe the study of social behavior. Positivism Comte's ideas about society were closely related to what he called positivism, or the idea that the truth only comes from scientific knowledge. In other words, if you can observe it and test it, then you can find the truth.

Thus, Comte didn't consider things that cannot be scientifically validated, like religion and intuition, to be the 'real truth.' Through his study of sociology and positivism, Comte developed three stages of social evolution, which included the theological stage, the metaphysical stage, and the positive, or scientific, stage.

According to Comte, societies start in the theological stage of development, where society is based on the laws of God, or theology. During this stage, the rules of society, and the way that people behave, are completely based on the ideals of the religion that is popular in that society.

Since Comte was studying mostly French society, he was thinking of the Catholic Church here, and the fact that monarchies were closely linked to the Church, as well as the way that society's laws were based on church law and belief. After the theological stage, Comte said, societies move into the metaphysical stage of development, which involves finding universal rights for people. This goes beyond the laws of the Church.

During this stage, society is interested in equality for all members, and laws and morals are not based on religion, but on the guiding principal that everyone should have specific rights. This is the stage that Comte believed France moved into during and after the French Revolution.

Finally, according to Comte, societies can move into the positive stage, also called the scientific stage of development, where society will use science to solve problems instead of moral tenets. During this stage, Comte believed, humans would no longer be thinking in moral terms. Instead, they would be thinking about things from a positivist perspective. That is, they would be seeking out the 'real truth' that Comte believed only came from science. Lesson Summary Auguste Comte was a French philosopher who founded sociology, or the scientific study of society. He believed in positivism, which is the idea that only scientific truth is the real truth. Through his study of society, Comte posited three stages of social evolution: the theological stage, during which society is based on the laws of God; the metaphysical stage, during which society is based on universal rights for people; and finally, the positive stage, also called the scientific stage, during which society uses science to solve problems instead of religious or moral tenets.

Sejarah sosiologi berasal dari ilmu filsafat (master scientiarum) yang lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Soekanto, 2012: 5). Oleh karena itu, sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lainnya. Sebenarnya sosiologi telah muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun, sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1842.

Orang yang pertama kali memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu adalah seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte. Dialah yang disebut sebagai Bapak Sosiologi, karena Dia merupakan orang pertama yang membedakan ruang lingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan isi-isi ilmu sosial lainnya. Sosiologi yang lahir pada tahun 1842 ditandai tatkala Auguste Comte menerbitkan bukunya yang berjudul Positive-Philosophy. Banyak pemikiran dan teori Comte yang sangat tersohor pada saat itu hingga sekarang.

Menurut Comte, sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan atau observasi terhadap masyarakat bukan hanya sekadar spekulasi-spekulasi perihal masyarakat. Pemikiran yang paling termasyhur diantara pemikiran-pemikiran Pria yang dilahirkan 215 tahun lalu ini adalah pemikirannya tentang tiga tahap perkembangan intelektual. Yaitu, pertama tahap teologis atau fiktif, kedua tahap metafisik yang merupakan perkembangan dari tahap pertama, dan ketiga adalah tahap positif yang merupakan tahap terakhir dari perkembanagan manusia. Revolusi perancis dengan segala pemikiran yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi perancis dan Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. Ia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientifik.

Comte

Filsafat sosial yang berkembang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut paham ensiklopedis ini, terutama dasar-dasar pikirannya, sekalipun kelak ia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini. Aliran reaksioner dari para ahli pikir Thoecratic terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah – masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan.

Comte telah membaca karya–karya pemikir Theocratic dibawah pengaruh Sain– Simont sebagaimana diketahui Sain–Simont juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah periode organic yang bersifat konstruktif. Sumber terakhir yang melatarbelakangi pemikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Sain–Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Sain–Simont dan juga dengan para ahli pikir sosialis Prancis lainnya. Comte di satu pihak akan membangun pengetahuan sosial dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific.

Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian dasar–dasar aliran masih tetap dianutnya terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat scientific. Comte adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam buku filsafat positifnya, yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang filsafat ilmu pengetahuan dan uraian tentang itu telah mengambil tempat paling banyak dalam bukunya. Comte menguraikan metode–metode berpikir ilmiah. Comte mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua fakta–fakta yang tunduk kepada akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan seluruh pemikirannya kepada perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau intelegensi manusia. Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus-menerus, namun perkembangan umum dari masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus.

Ada banyak hal yang mengganggu perkambangan suatu masyarakat seperti f aktor ras, iklim, dan tindakan politik. Comte berpendapat jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan manusia dan binatang yaitu perkembangan inteligensinya. Comte mengajukan tentang tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori evolusi atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu.

Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional.

Auguste Comte Theory

Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme (semuanya) dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Kemudian animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme (memilih), sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya.

Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu T uhan. Dalam tahap teologis kami dapat mencontohkannya sebagai berikut bergemuruhnya Guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang. Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara e mpiris.

Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Contoh, tanaman padi subur bukan karena akibat kehendak dewi Sri melainkan akibat dari perawatan dan pemupukan yang baik. Comte yakin bahwa ada hubungan yang bers i fat natural antara cara berfikir yang teologis dengan militerisme.

Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primiti f dalam hubungan satu sama lain. Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia.

Tahap metafisis yang bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif. Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan dari sentimen so s ial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentimen berkembang semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis.

Teori Auguste Comte

Tetapi dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan menguniversilkan perasaan so s ial (social simpati). Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis. Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.

Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya. Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek.

Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan). Teori yang dikemukakan oleh Auguste Comte adalah hasil dari pemikirannya yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan dan tokoh pemikir lainnya yang mendominasi pada saat itu. Model filsafat positivisme Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Padahal “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepen uhnya milik manusia, akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.

Oleh karena itu kita sebagai manusia yang mempelajarinya janganlah m,enerima teori-teori secara mentah, namun kita harus mengkajinya dan menyesuaikan teori tersebut dengan keadaan yang kita alami.